Kamis, 05 Oktober 2017

Makalah Teori Gujarat

BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang
Indonesia adalah Negara di Asia Tenggara ini disebut sebagai tanah dengan populasi Muslim tertinggi. Persentase Muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia. Dari 205 juta penduduk Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam.
Indonesia menempati urutan nomer pertama dari sekian banyak negara Islam di dunia dengan populasi muslim terbesar, padahal Indonesia bukanlah Negara berbasis Islam. Urutan kedua adalah; Pakistan, India, Bangladesh, Mesir, Nigeria, Iran, Turki, Algeria, dan urutan kesepuluh adalah Maroko.[1]
Perkembangan Islam di Indonesia yang begitu pesat tidak bisa lepas dari catatan sejarah. Sejarah telah memotret dan merekam semua yang telah terjadi di masa silam.
Proses-proses dan alur historis yang terjadi dalam perjalanan Islam di Indonesia dalam hubungannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah, bisa dilacak sejak masa-masa awal kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia sampai kurun waktu yang demikian panjang. Yaitu sejak terjadinya interaksi kaum Muslim Timur Tengah.[2]
Untuk mengungkap historis awal kedatangan Islam di Indonesia, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai 3 masalah pokok; tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Ada 3 teori yang dipakai teori Gujarat, teori Persia, dan teori Arabia.
3 teori yang saling mengunggulkan pada masing-masing teori. Prof Azumardi Azra dalam bukunya yang berjudul “Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII”berpendapat: berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok di atas jelas belum tuntas, tidak karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada.
Dari latar belakang yang ada, pemakalah berusaha me-narjih salah satu dari ketiga teori tersebut, mana yang lebih unggul dari yang lainnya.

B.     Rumusan Masalah
1.                  Bagaimana Penjelasan Teori Gujarat?

BAB II
PEMBAHASAN
Teori Kedatangan Islam di Indonesia
Menurut Sulasman dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Islam di Asia dan Eropa” beliau mengutip pendapatnya Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku yang berjudul “Menemukan Sejarah”, beliau berpendapat: “Ada 3 teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia.”[3]
Azyumardi turut berpendapat: “Terkait kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok; tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok di atas jelas belum tuntas, tidak karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada. (Karena) terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok di atas, sementara mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.”[4]

A.  Teori Gujarat
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. (Menurut Azyumardi Azra), Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, ahli dari Universitas Leiden. Dia mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[5] Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje.[6]
Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang terdapat di anak Benua India. Tempat-tempat, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut berdasarkan pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 M. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Indonesia dengan daratan India.[7]
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatra, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya dengan batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar local, tetapi juga untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatra dan Jawa. Selanjutnya dengan meng-impor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.[8]
Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik Al Shalih dengan butu nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shalih berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lainnya yang ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah di datangkan dari daerah itu. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475 H/1082 M) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.[9]
Dan ternyata teori Fatimi yang dikemukakan dengan begitu semangat gagal meruntuhkan teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil alih kesimpulannya, dan yang paling terkenal di antara mereka adalah: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, dan Hall. Sebagian mereka memberikan argument tambahan untuk mendukung kesimpulan Moqquette. Winstedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, Semenanjung Malaya. Ia berhujjah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka Islam juga pastilah diimpor dari sana.[10]
Teori yang berhujah menggunakan teori batu nisan dibantah oleh Marrison. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa islamisasi Samudra Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian (699 H/1298 M), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik Al Shalih, tegasnya sebelum 698 H/1297 M.[11]
Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.[12]
Menurut Azyumardi Azra, Marrison mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Arnold. Bahwa dia (Arnold) berpendapat, bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjukkan kepada persamaan madzhab fikih di antara ke dua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah pengikut madzhab Syafi’i, yang cukup dominan di wilayah Coromendel dan Malabar, seperti yang disaksikan oleh para ‘Ibnu Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini.[13]
Arnold berpendapat, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan 8 Masehi.[14] Pemakalah bisa menyimpulkan bahwa Arnold mendukung teori Arabia.

Teori Gujarat berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pd awal abad 13 M & pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adl :
  1. Kurangnya fakta yg menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebarannya ke Indonesia.
  2. Hubungan dagang Indonesia dgn India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur tengah – Eropa.
  3. Adanya batu nisan Sultan Samudera Pasai yaitu Malik al Saleh tahun 1297 yg bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adl Snouck Hurgronye, WF Stutterheim, & Bernard HM Vlekke. Para ahli yg mendukung teori Gujarat, lbh memusatkan perhatiannya pd saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya Kerajaan Samudera Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venezia (Italia) yg pernah singgah di Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah byk penduduk yg memeluk Islam & byk pedagang Islam dari India yg menyebarkan ajaran Islam.

Teori Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke
7 Masehi), namun yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia timur, termasuk Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje. Menurutnya, Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India. Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta(1912) yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.      Teori untuk mengungkap awal mula masuknya Islam di Indonesia ada 3:
a.       Teori Gujarat: asal mula IslamIndonesia adalah Anak Benua India.
b.      Teori Persia: asal mula Islam Indonesia adalah Tanah Persia
c.       Teori Arabia: asal mula Islam Indonesia adalah Makkah dan Madinah.

Teori Gujarat berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pd awal abad 13 M & pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori ini adl :
  1. Kurangnya fakta yg menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebarannya ke Indonesia.
  2. Hubungan dagang Indonesia dgn India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur tengah – Eropa.
  3. Adanya batu nisan Sultan Samudera Pasai yaitu Malik al Saleh tahun 1297 yg bercorak khas Gujarat.

B.     Saran
Semoga dalam makalah ini kita bisa mengetahui tentang Teori masuknya Islam ke Indonesia khususnya teori Gujarat, saran dan kritik dari para pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.










DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, (Jakarta: Kencana, 2013)
Sulasman, Sejarah Islam di Asa & Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
http://www.republika.co.id, Senin, 28 September 2015 Pukul; 6:41




Tidak ada komentar:

Posting Komentar